Senin, 22 Juli 2013

Susahnya jadi pimpinan yang konsisten

Pertama kali gue kenal Direktur Personalia gue waktu dia masih menjabat setingkat manajer di unit keuangan. Gue lihat sepintas lalu orangnya rapi, klimis maksudnya rambut selalu tersisir rapi dan pake minyak rambut dan pakaiannya lumayan tertata. Kalo orang bilang, necis or dandy lah......Tapi cuman segitu saja yang gue kenal dari dia.  

Oiya satu lagi. Saat dia ngajar tentang pelayanan prima di training yang gue ikutin, dia sempat kelihatan surprise sama jawaban and komentar gue tentang pengukuran kinerja karyawan. Gue jelasin beberapa tolak ukur plus formula-nya. Gue lihat dia ga nyangka hal yang berbobot itu keluar dari mulut orang yang tidak dia kenal. Mungkin dia kira gue ga secanggih itu kali otaknya, tapi that is it.

Waktu terus berputar. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi beberapa tahun kemudian. He....he....jangankan setahun, sedetik aja kita ga tahu. Tuh buktinya banyak orang mati mendadak. Kalo dikasi tau kapan matinya, pasti kasur empuk, taman indah dan ga pake sakit! menjadi pilihan banyak orang. Ga ada satu pun orang milih mati ketabrak truk, digigit buaya atau ketiban besi 10 ton! Itulah hidup, kalau disuruh milih, pasti semua ingin yang enak coy....

Lanjut ke cerita gue. Tahu-tahu keluar SK and gue jadi anak buahnya. Memang ga tiba-tiba amat sih. Gue sempet dipanggil sama dia dan ditanya apakah mau bergabung ke unit kerja dia. Katanya gue punya talenta yang sudah dipantau lama sama dia. Saat itu gue ga langsung mengatakan 'iya'. Gue minta waktu 1 hari untuk berfikir karena kepindahan gue nanti ke unit dia bukanlah promosi, justru malah kerjaan baru.  Dengan pertimbangan gue juga lagi 'dimusuhin' sama Bos gue saat itu, and dia pamornya sedang naik daun di perusahaan gue, syukur-syukur besok bisa bantu gue untuk peningkatan karir or kesejahteraan bagi gue. Wajar kan? impian semua karyawan adalah karir-nya atau gajinya naik, atau kedua-duanya naik. So, besoknya gue menghadap dia dan bilang 'setuju' untuk bergabung di unit dia.

Dari situlah awal pengenalan gue tentang dia.  Stigma 'pemarah' memang benar adanya. Dia dulu yang gue kenal lemah lembut bicaranya jadi berbeda. Sekarang nadanya Si bukan Re lagi. Malah terkadang naik 5 oktaf. Mulanya gue agak keder juga karena belum terbiasa dengan spanning tinggi kayak begitu. Tapi lambat laun gue mulai terbiasa.  Mungkin karena gue pikir gayanya yang pemarah itu representasi dari stress yang dia alami sebagai pejabat 1 tingkat dibawah Direksi.  Kemungkinan itu muncul setelah gue sering denger curhatan-curhatan dia tentang para direktur di perusahaan gue.

Dia bilang Direktur A kurang bijak, Direktur B kurang tegas, Direktur C mau seenaknya sendiri, dan lain lain. Kayaknya semua direktur bermasalah! Yang menarik bagi gue saat dia menyampaikan sesuatu seakan-akan dia lebih tahu bagaimana mengurusi karyawan.  Pengalaman sebagai pejabat di Serikat Pekerja sering dia tonjolkan untuk men-justifikasi kemampuannya  mengendalikan karyawan. Dia bilang, ngurus karyawan harus pake hati, bukan main perintah. Harus bisa menjadi tauladan, bukan sering telat (padahal dia sendiri termasuk pejabat yang paling sulit tepat waktu masuk kerja!).  Dan masih banyak lagi petuah-petuah yang dia ucapkan, seolah-olah dia cocok sekali jadi Direktur Personalia. Tidak hanya cocok, dia akan menjadi role model, contoh konkrit karyawan teladan!!

Beberapa tahun kemudian, Tuhan menggariskan dia menjadi Direktur Personalia di perusahaan gue.  Harapan gue sih sama saat gue masih menjadi anak buah dia bahwa dia akan menyelesaikan semua masalah karyawan yang lumayan berat dan kompleks.  Ternyata.......kenyataan beda dengan harapan.  Dia lebih terkesan otoriter dari sebelumnya. Bahkan raut muka yang masam lebih sering terlihat daripada senyum ramah yang menentramkan hati. Parahnya, kata-kata sinis, menusuk hati makin sering terucap. Semoga yang buruk itu bagian dari 'kekhilafan' dia sebagai manusia. Gue cuman berfikir bahwa terkadang manusia memang lebih sering bisa berkata daripada berbuat. Sering kita menganggap gampang menyelesaikan masalah, tapi tidak pernah mau tahu sumber dari masalah itu, sehingga yang muncul hanya keputusasaan yang terwujud dengan amarah, stress berat, salah keputusan dan lain-lain. Emang gampang jadi pimpinan coy?????

Tidak ada komentar:

Posting Komentar