Senin, 23 September 2013

Lega rasanya.......!!!

Rasanya plong......lepas semua beban yang selama ini bikin gue stress, menderita ga tau harus ngomong apa. Bertahun-tahun gue panggul beban itu. Semakin hari semakin berat. Rasanya pundak gue udah ga sanggup lagi. Otak gue rasanya pengin pecah dan jantung gue seakan mau lepas dari badan gue. Gue sudah berusaha berbagi 'beban' itu dengan keluarga gue, khususnya nyokap gue, tapi sepertinya masih kurang. Ada sih perasaan menyesal harus berbagi beban terutama dengan nyokap gue yang sudah semakin tua dan sering sakit-sakitan. Tapi gimana lagi, gue paling nyaman kalau ngomong or curhat ama dia. Mama tidak pernah menghakimi. Mama tidak pernah sotoy dan mengorek-ngorek masalah. Mama juga tidak pernah membuat cerita tandingan seperti mantan gue yang ujung-ujungnya bikin gue ilfil. Masa' orang mau curhat malah dicurhatin, capek deh........

Mama adalah pendengar curhat yang baik. Dia sabar mendengar cerita gue dan tidak pernah memotong pembicaraan gue. Dia denger dulu sampai gue berhenti bicara and merespon saat ada jeda. Kata-katanya sering bikin gue tenang, meskipun kadang-kadang dia mengalami kesulitan memahami istilah-istilah tertentu yang sering tanpa sadar keluar dari bibir gue. Kalimat terakhir selalu mengingatkan gue agar lebih sabar, jaga kesehatan, dan dekat dengan sang Pencipta. Hmmm......Mama memang ga ada duanya!!

Tapi kali ini gue minta maaf ya Ma karena gue pengin berbagi beban juga sama sahabat gue.  Dia teman gue waktu menempuh pendidikan diploma 2 dan satu penempatan kerja di kota kecil salah satu ibukota propinsi di pulau Sumatera.  Dulu kami tidak begitu dekat, ya sebatas teman sekolah. Tapi saat senasib ditempatkan di Sumatera, tinggal di mess bujangan yang kecil dan harus berempat, tidur berdua di lantai yang hanya beralas koran dan matras gabus pemberian kantor (emang keterlaluan tuh kantor, masa' beliin kami kasur gabus yang kalau ditidurin langsung berasa dinginnya lantai. Kasur gabus tipis banget! makanya kami alasin koran biar ngga langsung nyess ke lantai), hubungan kami jadi semakin dekat dan mengarah pada titik sahabat. 1 tahun pertama kami menderita banget. Makan aja susah karena kami harus ngatur uang gaji capeg (calon pegawai) selama 6 bulan yang nilainya sangat minim untuk kebutuhan sehari-hari.  Gue asli ga siap hidup seperti itu dengan gaji sekitar 70 ribu sebulan. Tapi, semangat gue untuk hidup di atas kaki sendiri membuat gue cepat bangkit bila terjatuh. Kata 'putus asa' gue hilangkan dari kamus gue karena kalau gue lihat keluar, masih banyak orang yang hidupnya lebih susah dari gue.  So, berusaha tegar meski kaki ini rasanya siap diamputasi, badan seperti dimutilasi karena saking capeknya diforsir 24 jam untuk cari tambahan uang makan.

Sohib gue agak berbeda. Dia lebih siap kayaknya. Saat penempatan dia bawa kardus besar yang isinya kompor, alat-alat dapur, rice cooker plus beras. Sangat berbeda dengan gue yang cuman bawa kopor isi pakaian doang. Tiap hari dia masak nasi plus telur ceplok. Mungkin itu cara yang paling praktis selain bikin mie instant. Kadang-kadang dia beli tahu tempe yang saat itu masih murah banget sebagai lauk. Gue lebih sering ngerecokin dia dengan minta sedikit porsi makanannya, he...he....

Ya, Senin siang kemaren gue panggil dia untuk mampir ke ruangan kantor gue. Sebenarnya itu karena nyokap gue juga yang tiba-tiba bilang kangen sama dia, sahabat gue.  Emang, Mama kenal dia dan sempat ketemu dia saat Mama datang berkunjung dan tinggal lumayan lama di rumah gue di Sumatera. So, waktu gue BBM dan dia bilang masuk shift siang, sekitar jam 2 siang dia sudah berada di ruangan gue.  Seperti biasa, obrolan pertama ga jauh dari saling ngeledek dan topik-topik konyol. Beberapa menit berikutnya baru bicara serius tentang keluarga.  Saat itulah gue buka habis apa yang terjadi di keluarga gue. Gue cerita apa adanya karena menurut gue, dia sebagai sahabat gue perlu tau tentang keluarga gue yang sebenarnya. Gue bisa jamin dia tidak pernah cerita balik sama orang lain, bahkan sama pasangannya di rumah.  Itu sudah terbukti selama gue bersahabat sama dia.

Raut muka dia kelihatan kaget saat gue bilang bahwa gue sudah berpisah secara resmi dengan pasangan gue.  Selama ini gue tutupin karena demi anak-anak gue yang masih kecil dan menurut gue belum siap menerima kenyataan ini. Gue akan cerita sama mereka kalau mereka menanyakan hal itu. Feeling gue sih mengatakan mereka tahu, tapi mereka sepertinya ga mau tahu karena selama ini hubungan gue dengan mantan tetap baik sebagai suami istri. Memang kami sudah lama tidak 1 rumah lagi, tapi silaturahim masih terjalin. Hanya,setelah kasus anak gue yang terang-terangan menolak sekolah di kota tempat gue tinggal dan secara garang dia marah tidak mau tinggal serumah dengan gue, membuat gue putus asa untuk yang pertama kalinya.  Bertahun-tahun gue sudah sabar dijauhkan dengan anak-anak gue oleh mantan. Bertahun-tahun gue cuman bisa memendam rasa rindu pengin ketemu, menderita dengan kesendirian, sendiri membangun rumah dan menyiapkan masa depan bagi anak-anak gue, e....pada akhirnya usaha gue hanya mendapat cibiran dan penolakan dari anak gue. Kenyataan ini pun gue ceritakan ke sohib gue.  Dia terlihat kaget, ga nyangka seperti itu kejadiannya.  Termasuk gue cerita apa dan bagaimana gue berpisah. Sebenarnya penolakan anak gue tinggal serumah sama gue atau kata-kata kasarnya ke gue masih bisa gue terima. Maklum anak gue memasuki usia remaja yang cenderung meledak-ledak emosinya. Tapi saat gue denger dari nyokap gue kalau anak gue juga sudah berani bicara ga sopan sama nyokap gue, rasanya gue ga bisa terima. Cukup, cukup sudah kesabaran gue. Ini ga bisa diteruskan. Batas kesabaran gue sudah dilewati. Gue harus ngambil sikap untuk memberikan pelajaran. Gue ga bakal peduli lagi sama anak gue sebelum dia berubah dan minta maaf sama nyokap gue dan gue. Sedih banget melihat anak gue tumbuh seperti itu.  Jauh dari harapan gue. Keikhlasan gue merelakan anak-anak gue tinggal sama mantan ternyata hanya membiarkan mereka tumbuh menjadi anak-anak yang tidak sopan sama orang tua, pemarah, manja, sering tidak percaya diri dan pasif menghadapi masa depan.  Hancur sudah hati gue. Surat perjanjian dengan mantan itu rasanya ingin gue ubah, tapi mengetahui mantan gue yang sarjana hukum, melek hukum, sering menipu gue dan sering membalikkan fakta, membuat gue mengambil sikap wait and see. Gue masih yakin, pelajaran hidup yang akan membawa anak-anak gue kembali ke tangan gue. Mungkin saat ini mereka masih belum tahu susahnya hidup. Mereka belum mengerti sulitnya menggapai masa depan. Sometime, mereka akan datang ke rumah gue.

Siang itu gue sangat lega karena sudah menceritakan semua peristiwa yang terjadi dalam hidup gue. Sahabat gue ga banyak komentar. Dia memang tau betul sifat dan kepribadian gue yang sebenarnya. Bisa jadi, selain nyokap gue, dia juga tau gimana perasaan gue. Ga ada air mata dalam percakapan siang sampai sore itu. Full waktu terisi dengan kisah-kisah pribadi kami. Bahkan gue sempet ngobrol via telepon dengan pasangan dia. Seru dan melegakan.....................God always knows what I want. God never lets me down

Tidak ada komentar:

Posting Komentar