Bantuan Tuhan kembali datang. Untuk yang kesekian kalinya gue mesti bersyukur kepada Tuhan yang ga ridho gue didzalimin oleh siapa pun, bahkan termasuk anak gue. Anak sulung gue yang bikin gue sakit hati karena urusan sekolah dan seenaknya marahin gue, ditimpa musibah jatuh sakit dan harus opname di rumah sakit selama seminggu. Jelas, gue sama sekali tidak senang dengan kondisi ini dan doa gue ke Tuhan hanya agar dia menjadi anak yang soleha, taat kepada agamanya dan menjadi kebanggaan orang tua. Ga terpikir di benak gue kalo bakal jadi begini. Dari dulu memang gue ga pernah berdoa jelek bagi siapa pun yang nge-dzalimin gue atau bikin sakit hati gue, tapi Tuhan selalu berkata lain. Kalau gue inget, ada dulu tetangga depan gue yang berprofesi sopir tiap hari bikin gue ga bisa tidur nyenyak. Tiap pulang malam hari selalu teriak-teriak ga jelas apa maksudnya. Saban hari kerjaannya marah melulu. Kalo ga marah sama bininya, marah sama anaknya. Sampai-sampai anaknya lari ke rumah gue minta perlindungan. Gue sih ga mau ikut campur urusan rumah tangga orang lain, tapi si supir brengsek itu terkadang kata-katanya nyinggung perasaan gue. Kasar dan sama sekali ga enak di telinga. Maunya gue lawan, tapi apa gue mau merendahkan martabat gue hanya karena mulut orang yang ga pernah makan sekolahan dan ga tau tata krama? Rasanya ga sebanding, dan buruk akibatnya kalo gue ladeni. Gue cuman berdoa agar dia disadarkan akan kesalahannya dan mulutnya itu di 'sekolah'kan dulu. Tau ga balasan apa dari Tuhan? Dia sempat sekarat dapat siksa dunia menjelang ajal. Dirawat di rumah sakit ga mempan. Di bawa ke rumah masih megap-megap dan terus mengerang kesakitan. Beberapa orang bilang, dia diazab sama Tuhan. Serem banget. Akhirnya bininya minta maaf satu persatu ke para tetangga termasuk gue yang sudah pindah jauh ke pulau Jawa. Ajaib, setelah bininya minta maaf pada semua orang yang pernah didzalimi suaminya, si supir itu meninggal dunia. Tapi gue ngeri denger kabar dari mantan tetangga-tetangga gue yang lihat langsung almarhum di menit-menit setelah dia meninggal dunia. Wajahnya hitam lebam, matanya melotot, mulutnya menganga, naudzubillahi min dzalik!!!
Belum lagi mantan-mantan atasan gue yang juga berbuat dzalim sama gue. Ada yang dipindahkan jauh oleh perusahaan dan harus berpisah dengan suami serta anaknya. Ada yang dicabut jabatan pentingnya dan sekarang hanya menjabat sebagai wakil yang ga penting dan sama sekali ga digubris sama direksi. Bahkan ada mantan direktur yang ga jelas pernah dendam banget sama gue dan sempat menghambat karir gue, sekarang jadi orang yang paling takut datang ke kantor gue. Aneh ya...?? Padahal gue cuman bersabar menghadapi mereka. Gue tetap kerja, hormat sama mereka (meski ga ikhlas hormatnya karena mereka tidak layak untuk dihormati), dan tetap mematuhi aturan main kantor yaitu salah satu job desc anak buah ya dimarahin atasan. Satu lagi yang kerap gue lakukan kalo sudah sangat sedih, gue curhat sama Allah di sholat malam gue. Jujur, terkadang gue nangis meratapi kejadian yang menyakitkan hati gue.
Gue sempat kaget saat denger mantan gue sms bahwa anak gue kumat penyakit asmanya dan harus dirawat di ICU. Gue memang ga segera balas itu sms dan sama sekali ga mau lagi berkomunikasi dengan mantan meskipun urusan anak, karena mantan gue terlalu sering berbohong dan merusak semua hubungan keluarga gue dengan cerita-cerita bohongnya. Bahkan kejadian yang menimpa anak gue saja dikatakan bahwa anak gue stress gara-gara mikirin sekolah yang sempet jadi masalah dengan gue. Gila ga?? Selama jadi orang tuanya, gue tau persis kalo anak gue lumayan sering masuk rumah sakit karena asma. Anak gue memang termasuk yang bandel sering melanggar nasihat dokter. Dia ga boleh kecapekan, menghindari beberapa makanan yang merangsang asma-nya kambuh, tapi itu hanya berlaku kalau dia sedang sakit. Kalau sedang sehat, boro boro nasihat dokter, orang tuanya sendiri saja dilawan. Sebenarnya kalau sama gue masih mendingan dari pada mantan gue. Anak gue masih mau denger omongan gue, meskipun itu ga bertahan lama. Tapi kalau sama mantan gue, terang-terangan dia melawan. Maklum, mantan gue kalo ngomong suka sambil marah dan ga jelas nasihatnya. Terkadang dicampuri dengan cerita-cerita aneh yang ga masuk akal. Lagian mana bisa anak segede itu dibodohin lagi dengan cerita-cerita bohong?
Gue terpaksa nelpon nyokap gue untuk ngecek kondisi yang sebenarnya. Setelah ngecek langsung ternyata benar anak gue dirawat di rumah sakit. Tapi nyokap gue bilang ga usah datang menjenguk karena sudah dirawat dengan baik oleh dokter dan keluarga gue gantian nungguin anak gue. Sebenarnya keluarga gue ga mau lagi juga berurusan dengan mantan gue, tapi mereka sangat sayang sama anak gue, so ga mungkin tega. Emang dasar mulut mantan gue yang kurang ajar, saat nyokap gue njenguk anak gue di rumah sakit pun diajak ribut hanya gara-gara nyokap gue nelpon gue dan bilang kalo saat itu mantan gue sedang pulang sebentar, e...bisa-bisanya dengan seenaknya nyokap gue dimarahin. Katanya ntar gue marah dan berfikiran bahwa dia ga jaga anak, konyol kan?? Pasti aja nyokap gue marah besar. Habis-habisan dicaci maki tuh mantan gue. Nyokap gue bilang bahwa gue sudah ga peduli lagi sama mantan gue. Gue hanya peduli sama anak gue. Nyokap gue nyuruh mantan gue stop bikin kebohongan lagi. Beliau udah kenyang dengan kebohongan dia yang hanya cari untung dan selamat sendiri. Anak aja dikorbanin demi kebahagiaan pribadi. Egois!!!
Syukurnya, gue sempet berbicara sebentar dengan anak gue karena nyokap gue ngasikan hand phone-nya ke anak gue supaya dapat berbicara langsung dengan gue. Memang ga ada permintaan maaf dari mulut anak gue. Dia hanya minta doa agar cepat sembuh dan pulang. Astaghfirlullah halazdim......tanpa dia minta sudah pasti gue doain. Orang tua mana yang tega ngelihat anaknya sakit? Di sela-sela pembicaraan itu, gue sempetin untuk nasihatin dia. Sekali lagi, kalau sedang sakit, anak gue jadi sangat santun......
Ya........semoga sakit ini membawa hikmah bagi anak gue. Semoga dia belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah dia perbuat.
Gue ga lepas tangan. Gue sudah transfer uang untuk sebagian besar biaya rumah sakit ke rekening nyokap gue. 4 Juta rupiah. Gue ga mau transfer ke rekening mantan gue karena belum tentu uang itu akan dipakai untuk biaya anak gue, Maklum pelajaran hidup saat masih bersama membuat gue ga bisa percaya lagi sama dia. Nyokap gue yang mengantar langsung uang itu bersama kakak gue. Gue cuman bilang sama nyokap gue, minta itu kuitansi. Jangan sekali-kali menyerahkan uang tanpa kuitansi. Jangan mau lagi dibodohin oleh mantan gue yang sudah terkenal licik. Tau ga, saat nyokap gue ke rumah mantan gue nyerahin uang berobat, mantan gue bilang bahwa mulai tanggal 8 Oktober anak sulung gue yang abis sakit itu mau ujian sekolah dan Desember bakal tinggal sama gue. Bisa-bisanya dia bilang begitu kalau ga ada maksud jelek supaya gue datang tanggal 7 atau 8 Oktober dan tanggal 9 Oktober-nya biar bisa ngerayain hari ulang tahunnya dia. Akal bulus-nya sudah bisa gue cium dari sini. Ga bakal gue mau nurutin kemauan dia. Dia yang minta kawin, dia yang minta cerai, e bisa-bisanya sekarang minta gue baikan. Batas kesabaran gue sudah terlampaui. Sejak bercerai itu gue sebenarnya masih sering ke kota tempat mantan gue untuk menjenguk anak-anak gue karena gue ga mau melukai hati anak gue. Pikir gue, mereka masih kecil dan belum saatnya gue berterus terang. Tiap tahun terkadang 2 sampai 3 kali gue berkunjung dan menginap di rumah mantan gue. Pokoknya sama sekali tidak terlihat kalau gue sudah divorce sama dia. Bahkan orang lain melihat kami seperti keluarga bahagia. Tapi saat anak-anak sudah beranjak dewasa, gue ga bisa mengalah terus. Ya, dari sejak menikah gue dijauhkan dari anak-anak. Mantan gue ogah-ogahan ikut gue di kota yang sangat jauh. Gue ngalah. Cuman sekitar 3 tahun saat hamil anak kedua, dia memutuskan tinggal bersama gue. Anak kedua lahir di kota tempat gue kerja. Tapi gue dibohongin mentah-mentah. Dia bukannya keluar dari pekerjaanya. Dia hanya mengambil cuti diluar tanggungan. Dia kembali bekerja di kotanya dan membawa semua anak-anak gue. Awalnya gue keberatan, tapi setelah mendengar alasan dia yang katanya, ini demi perekonomian keluarga dia rela kembali bekerja dan anak-anak ikut sama dia agar dapat dirawat sama orang tua dia. Ternyata.....itu awal masa-masa penderitaan gue jauh dari anak-anak. Mantan gue bikin cerita macam-macam. Katanya dia diusir dan dipaksa kerja kembali. Itu yang dia katakan di surat gugatan cerai. Gimana gue usir kalo gue yang nganterin mereka ke terminal bus? Gimana gue suruh dia bekerja lagi kalau dia sendiri yang memang ga betah tinggal di rumah dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada?
Dulu gue memang berdiam diri menerima nasib. Malu? Ya, karena keputusan menikah dengan dia adalah keputusan gue sendiri. So, akibatnya ya harus gue tanggung sendiri. Bercerai bukanlah keputusan gue, bahkan gue kirim surat ke Pengadilan Agama bahwa gue ga mau bercerai demi anak-anak gue. Gue terima apa adanya mantan gue asal gue bisa tinggal bersama anak-anak gue. Tapi mantan gue keukeh minta cerai. Bahkan gue sama sekali ga diberi kesempatan untuk bicara. Katanya keputusan sudah bulat. Keluarga gue percaya 100% sama dia. Gue ga mau cerita sama keluarga gue karena berharap setelah bercerai gue masih bisa ngomong baik-baik sama dia dan siapa tau bisa rujuk. Upaya gue untuk mengajak anak-anak tinggal sama gue pun ga berhasil. Mantan gue selalu punya sejuta alasan untuk menolak. Terakhir waktu mereka datang ke rumah gue yang 'katanya' mau ngurus pindah sekolah anak-anak gue, e ternyata harus berakhir dengan kekecewaan di pihak gue.
Sekarang tidak ada lagi yang harus disembunyikan dari keluarga gue. Orang tua gue, kakak dan adik gue sudah tau semua apa dan bagaimana perjalanan berkeluarga gue khususnya sifat dan tabiat mantan gue. Sekarang keluarga gue juga sudah tau dan merasakan bagaimana sosok mantan gue yang sebenarnya, Mereka sekarang sudah mengambil sikap karena sudah tau mana yang benar dan mana yang salah, Bahkan tetangga gue pun sekarang tau karena melihat langsung perilaku mantan gue yang sering berbohong membalikkan fakta. Tuhan kembali lagi menunjukkan kekuasaanNya. Bukan kita yang membalas perbuatan orang-orang yang dzalim kepada kita, tetapi Tuhan yang memberikan hukuman kepada mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar