Minggu, 29 September 2013

Pelajaran hidup itu datang

Bantuan Tuhan kembali datang. Untuk yang kesekian kalinya gue mesti bersyukur kepada Tuhan yang ga ridho gue didzalimin oleh siapa pun, bahkan termasuk anak gue. Anak sulung gue yang bikin gue sakit hati karena urusan sekolah dan seenaknya marahin gue, ditimpa musibah jatuh sakit dan harus opname di rumah sakit selama seminggu. Jelas, gue sama sekali tidak senang dengan kondisi ini dan doa gue ke Tuhan hanya agar dia menjadi anak yang soleha, taat kepada agamanya dan menjadi kebanggaan orang tua. Ga terpikir di benak gue kalo bakal jadi begini. Dari dulu memang gue ga pernah berdoa jelek bagi siapa pun yang nge-dzalimin gue atau bikin sakit hati gue, tapi Tuhan selalu berkata lain. Kalau gue inget, ada dulu tetangga depan gue yang berprofesi sopir tiap hari bikin gue ga bisa tidur nyenyak. Tiap pulang malam hari selalu teriak-teriak ga jelas apa maksudnya. Saban hari kerjaannya marah melulu. Kalo ga marah sama bininya, marah sama anaknya. Sampai-sampai anaknya lari ke rumah gue minta perlindungan. Gue sih ga mau ikut campur urusan rumah tangga orang lain, tapi si supir brengsek itu terkadang kata-katanya nyinggung perasaan gue. Kasar dan sama sekali ga enak di telinga. Maunya gue lawan, tapi apa gue mau merendahkan martabat gue hanya karena mulut orang yang ga pernah makan sekolahan dan ga tau tata krama? Rasanya ga sebanding, dan buruk akibatnya kalo gue ladeni. Gue cuman berdoa agar dia disadarkan akan kesalahannya dan mulutnya itu di 'sekolah'kan dulu. Tau ga balasan apa dari Tuhan? Dia sempat sekarat dapat siksa dunia menjelang ajal. Dirawat di rumah sakit ga mempan. Di bawa ke rumah masih megap-megap dan terus mengerang kesakitan. Beberapa orang bilang, dia diazab sama Tuhan. Serem banget. Akhirnya bininya minta maaf satu persatu ke para tetangga termasuk gue yang sudah pindah jauh ke pulau Jawa. Ajaib, setelah bininya minta maaf pada semua orang yang pernah didzalimi suaminya, si supir itu meninggal dunia. Tapi gue ngeri denger kabar dari mantan tetangga-tetangga gue yang lihat langsung almarhum di menit-menit setelah dia meninggal dunia. Wajahnya hitam lebam, matanya melotot, mulutnya menganga, naudzubillahi min dzalik!!!

Belum lagi mantan-mantan atasan gue yang juga berbuat dzalim sama gue. Ada yang dipindahkan jauh oleh perusahaan dan harus berpisah dengan suami serta anaknya. Ada yang dicabut jabatan pentingnya dan sekarang hanya menjabat sebagai wakil yang ga penting dan sama sekali ga digubris sama direksi. Bahkan ada mantan direktur yang ga jelas pernah dendam banget sama gue dan sempat menghambat karir gue, sekarang jadi orang yang paling takut datang ke kantor gue. Aneh ya...?? Padahal gue cuman bersabar menghadapi mereka. Gue tetap kerja, hormat sama mereka (meski ga ikhlas hormatnya karena mereka tidak layak untuk dihormati), dan tetap mematuhi aturan main kantor yaitu salah satu job desc anak buah ya dimarahin atasan. Satu lagi yang kerap gue lakukan kalo sudah sangat sedih, gue curhat sama Allah di sholat malam gue. Jujur, terkadang gue nangis meratapi kejadian yang menyakitkan hati gue.  

Gue sempat kaget saat denger mantan gue sms bahwa anak gue kumat penyakit asmanya dan harus dirawat di ICU. Gue memang ga segera balas itu sms dan sama sekali ga mau lagi berkomunikasi dengan mantan meskipun urusan anak, karena mantan gue terlalu sering berbohong dan  merusak semua hubungan keluarga gue dengan cerita-cerita bohongnya. Bahkan kejadian yang menimpa anak gue saja dikatakan bahwa anak gue stress gara-gara mikirin sekolah yang sempet jadi masalah dengan gue. Gila ga??  Selama jadi orang tuanya, gue tau persis kalo anak gue lumayan sering masuk rumah sakit karena asma. Anak gue memang termasuk yang bandel sering melanggar nasihat dokter. Dia ga boleh kecapekan, menghindari beberapa makanan yang merangsang asma-nya kambuh, tapi itu hanya berlaku kalau dia sedang sakit. Kalau sedang sehat, boro boro nasihat dokter, orang tuanya sendiri saja dilawan. Sebenarnya kalau sama gue masih mendingan dari pada mantan gue. Anak gue masih mau denger omongan gue, meskipun itu ga bertahan lama. Tapi kalau sama mantan gue, terang-terangan dia melawan. Maklum, mantan gue kalo ngomong suka sambil marah dan ga jelas nasihatnya. Terkadang dicampuri dengan cerita-cerita aneh yang ga masuk akal. Lagian mana bisa anak segede itu dibodohin lagi dengan cerita-cerita bohong? 

Gue terpaksa nelpon nyokap gue untuk ngecek kondisi yang sebenarnya. Setelah ngecek langsung ternyata benar anak gue dirawat di rumah sakit. Tapi nyokap gue bilang ga usah datang menjenguk karena sudah dirawat dengan baik oleh dokter dan keluarga gue gantian nungguin anak gue. Sebenarnya keluarga gue ga mau lagi juga berurusan dengan mantan gue, tapi mereka sangat sayang sama anak gue, so ga mungkin tega. Emang dasar mulut mantan gue yang kurang ajar, saat nyokap gue njenguk anak gue di rumah sakit pun diajak ribut hanya gara-gara nyokap gue nelpon gue dan bilang kalo saat itu mantan gue sedang pulang sebentar, e...bisa-bisanya dengan seenaknya nyokap gue dimarahin. Katanya ntar gue marah dan berfikiran bahwa dia ga jaga anak, konyol kan?? Pasti aja nyokap gue marah besar. Habis-habisan dicaci maki tuh mantan gue. Nyokap gue bilang bahwa gue sudah ga peduli lagi sama mantan gue. Gue hanya peduli sama anak gue. Nyokap gue nyuruh mantan gue stop bikin kebohongan lagi. Beliau udah kenyang dengan kebohongan dia yang hanya cari untung dan selamat sendiri. Anak aja dikorbanin demi kebahagiaan pribadi. Egois!!!

Syukurnya, gue sempet berbicara sebentar dengan anak gue karena nyokap gue ngasikan hand phone-nya ke anak gue supaya dapat berbicara langsung dengan gue. Memang ga ada permintaan maaf dari mulut anak gue. Dia hanya minta doa agar cepat sembuh dan pulang. Astaghfirlullah halazdim......tanpa dia minta sudah pasti gue doain. Orang tua mana yang tega ngelihat anaknya sakit? Di sela-sela pembicaraan itu, gue sempetin untuk nasihatin dia. Sekali lagi, kalau sedang sakit, anak gue jadi sangat santun......

Ya........semoga sakit ini membawa hikmah bagi anak gue. Semoga dia belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah dia perbuat. 

Gue ga lepas tangan. Gue sudah transfer uang untuk sebagian besar biaya rumah sakit ke rekening nyokap gue. 4 Juta rupiah. Gue ga mau transfer ke rekening mantan gue karena belum tentu uang itu akan dipakai untuk biaya anak gue, Maklum pelajaran hidup saat masih bersama membuat gue ga bisa percaya lagi sama dia.  Nyokap gue yang mengantar langsung uang itu bersama kakak gue. Gue cuman bilang sama nyokap gue, minta itu kuitansi. Jangan sekali-kali menyerahkan uang tanpa kuitansi. Jangan mau lagi dibodohin oleh mantan gue yang sudah terkenal licik. Tau ga, saat nyokap gue ke rumah mantan gue nyerahin uang berobat, mantan gue bilang bahwa mulai tanggal 8 Oktober anak sulung gue yang abis sakit itu mau ujian sekolah dan Desember bakal tinggal sama gue. Bisa-bisanya dia bilang begitu kalau ga ada maksud jelek supaya gue datang tanggal 7 atau 8 Oktober dan tanggal 9 Oktober-nya biar bisa ngerayain hari ulang tahunnya dia. Akal bulus-nya sudah bisa gue cium dari sini.  Ga bakal gue mau nurutin kemauan dia. Dia yang minta kawin, dia yang minta cerai, e bisa-bisanya sekarang minta gue baikan. Batas kesabaran gue sudah terlampaui. Sejak bercerai itu gue sebenarnya masih sering ke kota tempat mantan gue untuk menjenguk anak-anak gue karena gue ga mau melukai hati anak gue. Pikir gue, mereka masih kecil dan belum saatnya gue berterus terang. Tiap tahun terkadang 2 sampai 3 kali gue berkunjung dan menginap di rumah mantan gue.  Pokoknya sama sekali tidak terlihat kalau gue sudah divorce sama dia. Bahkan orang lain melihat kami seperti keluarga bahagia. Tapi saat anak-anak sudah beranjak dewasa, gue ga bisa mengalah terus. Ya, dari sejak menikah gue dijauhkan dari anak-anak. Mantan gue ogah-ogahan ikut gue di kota yang sangat jauh. Gue ngalah. Cuman sekitar 3 tahun saat hamil anak kedua, dia memutuskan tinggal bersama gue. Anak kedua lahir di kota tempat gue kerja. Tapi gue dibohongin mentah-mentah. Dia bukannya keluar dari pekerjaanya. Dia hanya mengambil cuti diluar tanggungan. Dia kembali bekerja di kotanya dan membawa semua anak-anak gue. Awalnya gue keberatan, tapi setelah mendengar alasan dia yang katanya, ini demi perekonomian keluarga dia rela kembali bekerja dan anak-anak ikut sama dia agar dapat dirawat sama orang tua dia. Ternyata.....itu awal masa-masa penderitaan gue jauh dari anak-anak. Mantan gue bikin cerita macam-macam. Katanya dia diusir dan dipaksa kerja kembali. Itu yang dia katakan di surat gugatan cerai. Gimana gue usir kalo gue yang nganterin mereka ke terminal bus? Gimana gue suruh dia bekerja lagi kalau dia sendiri yang memang ga betah tinggal di rumah dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada?

Dulu gue memang berdiam diri menerima nasib. Malu? Ya, karena keputusan menikah dengan dia adalah keputusan gue sendiri. So, akibatnya ya harus gue tanggung sendiri. Bercerai bukanlah keputusan gue, bahkan gue kirim surat ke Pengadilan Agama bahwa gue ga mau bercerai demi anak-anak gue. Gue terima apa adanya mantan gue asal gue bisa tinggal bersama anak-anak gue. Tapi mantan gue keukeh minta cerai. Bahkan gue sama sekali ga diberi kesempatan untuk bicara. Katanya keputusan sudah bulat. Keluarga gue percaya 100% sama dia. Gue ga mau cerita sama keluarga gue karena berharap setelah bercerai gue masih bisa ngomong baik-baik sama dia dan siapa tau bisa rujuk. Upaya gue untuk mengajak anak-anak tinggal sama gue pun ga berhasil. Mantan gue selalu punya sejuta alasan untuk menolak. Terakhir waktu mereka datang ke rumah gue yang 'katanya' mau ngurus pindah sekolah anak-anak gue, e ternyata harus berakhir dengan kekecewaan di pihak gue.

Sekarang tidak ada lagi yang harus disembunyikan dari keluarga gue. Orang tua gue, kakak dan adik gue sudah tau semua apa dan bagaimana perjalanan berkeluarga gue khususnya sifat dan tabiat mantan gue. Sekarang keluarga gue juga sudah tau dan merasakan bagaimana sosok mantan gue yang sebenarnya, Mereka sekarang sudah mengambil sikap karena sudah tau mana yang benar dan mana yang salah, Bahkan tetangga gue pun sekarang tau karena melihat langsung perilaku mantan gue yang sering berbohong membalikkan fakta.  Tuhan kembali lagi menunjukkan kekuasaanNya. Bukan kita yang membalas perbuatan orang-orang yang dzalim kepada kita, tetapi Tuhan yang memberikan hukuman kepada mereka.

Sabtu, 28 September 2013

Giliran Josu dan Aines beraksi

Bulan September ini, giliran Josu dan Aines yang datang dan menginap di rumah gue. Mereka dari Barcelona Spanyol yang sengaja terbang jauh ke Indonesia, mengeksplorasi keindahan beberapa tempat wisata di Sumatera sebelum akhirnya menginap di rumah gue.
Lihat jidat si Josu, gimana ga mudah ngenalin dia?
Mereka hobby banget musik reggae seperti kebanyakan anak pantai. Beberapa koleksi musik reggae Josu ditransfer ke laptop gue. Cool banget, man. Memang benar-benar anak pantai, sampai-sampai mereka bela-belain pergi ke Mentawai hanya karena ingin berselancar di salah satu pemilik ombak terbaik di dunia. Dan satu lagi yang membuat gue salut sama mereka berdua, mereka pasangan survival yang tangguh. Bayangin, selama perjalanan ke luar negeri mereka tidak pernah tinggal di hotel. Mereka memilih tenda sebagai 'tempat tinggal'. Low life style? Ternyata mereka memang benar-benar ngirit. Bergaya hidup sederhana terpaksa mereka lalui karena sudah beberapa bulan ini mereka belum punya pekerjaan tetap. Keinginan traveling tidak dapat mereka bendung dan tidak ingin berhenti hanya karena tidak mampun bayar kamar hotel. Top kan? Ga semua orang bisa seperti mereka. Kalau sehari atau dua hari sih mungkin masih tahan. Tapi coba kalau setiap traveling harus menginap di tenda? Gue yakin loe orang pasti ga mau.

Mereka nyampe malam hari di Jakarta. Penerbangan dari Padang tertunda sekitar 3 jam. Sriwijaya Air kali ini berulah dan gue yang kena getahnya. Gue nyampe persis sesuai jadwal kedatangan, tapi ga taunya di tv monitor tertulis penerbangan ditunda. Damn!!

Ga sulit mengenali Josu dan Aines karena dalam emailnya Josu bilang bahwa disamping bule, Josu mukanya sedang diperban dan rasanya jarang sekali ada dua orang penumpang dengan ciri-ciri yang sama dalam 1 pesawat.  Alat bantu tv monitor di Bandara Soekarno-Hatta sangat membantu gue menemukan tamu gue.  Kening Josu ada perban, hidungnya pun dibalut perban. Saat gue tanya di email, Josu bilang ntar aja kalo udah nyampe di Jakarta, katanya ceritanya panjang. Ga taunya kena hantam batu karang pantai saat surfing.

Hari pertama kita isi dengan makan malam bersama di warung seafood pinggir jalan. Gue sih maunya bawa mereka ke restauran, tapi jam sudah menunjukkan pukul 21.30 rasanya sulit cari restauran sekitar bandara yang buka jam segitu. Restauran di terminal mahal semua, so gue pikir lebih baik kami makan di luar bandara saja, biar aman dompet gue, he.....he.....Untungnya mereka tidak keberatan. Awalnya gue ragu, takut mereka ga nyaman di warung, e ga taunya mereka bilang selama di Sumatera mereka sering makan di warung nasi. Katanya lebih murah.  Oala.....bule pun milih yang murah.

Hari kedua pagi tepatnya di hari Minggu, kami menuju Monas. Tololnya gue lupa kalau hari Minggu adalah car fee day dan gue tanpa sadar melajukan mobil ke arah Sudirman dari Slipi. Saat mau masuk kawasan Sudirman baru gue sadar kalau hari itu car free day. Akhirnya kami putuskan langsung saja menuju Taman Mini. Sekali lagi gue bawa temen bule gue kesana karena menurut gue tempat ini paling cocok untuk orang asing yang ingin tahu budaya dan keragaman seni tanah air kita.  Sepulang dari Taman Mini, mereka minta diantar ke supermarket. Katanya ingin beli bahan-bahan untuk membuat omlet istimewa buat gue sore ini. Omlet sore hari? Menurut gue ga ada salahnya juga makan omlet di sore hari, emangnya ada ketentuan makan omlet harus pagi hari?
Gaya masak Aines,,,,sexy juga kan?
Bahu membahu mereka di dapur. Gue ga diperbolehkan ikut. Kata mereka, gue cukup lihat aja. Kalau udah matang tinggal makan. Jadi kayak raja! Gods.....hasilnya memang enak!!
Special omlet and red wine....hmm......
Ada yang berkesan di hari kedua ini buat gue dan mereka karena sebelum ke supermarket, gue harus mengantar Josu ke rumah sakit untuk cek luka di kening dan hidungnya.  Sebelum ke rumah sakit, kami makan siang dulu di restaurant dekat rumah sakit. Udah capek-capek gue milih menu, ga taunya mereka cuman pesan nasi putih dua, satu porsi sayur genjer dan satu porsi sayur tauge. Saat gue tanya apakah mereka ga ingin makan lauk seperti ikan, ayam atau seafood yang tersedia di restaurant itu. Katanya, mereka sudah biasa makan seperti itu. Sepertinya mereka mau ngirit lagi. Alih-alih ga tega mendengar cerita mereka, makan siang ini gue yang bayar. Josu maunya bayar fifty-fifty, tapi udahlah...gue perlu bantu mereka.

Hari ketiga adalah hari perpisahan. Pagi hari mereka gue antar ke bandara. Sekali lagi, gue dibikin terheran-heran sama mereka. Hanya alasan tiket murah, mereka harus terbang ke Guangzhou dulu sebelum ke New Zealand. Gila!!!

Senin, 23 September 2013

Lega rasanya.......!!!

Rasanya plong......lepas semua beban yang selama ini bikin gue stress, menderita ga tau harus ngomong apa. Bertahun-tahun gue panggul beban itu. Semakin hari semakin berat. Rasanya pundak gue udah ga sanggup lagi. Otak gue rasanya pengin pecah dan jantung gue seakan mau lepas dari badan gue. Gue sudah berusaha berbagi 'beban' itu dengan keluarga gue, khususnya nyokap gue, tapi sepertinya masih kurang. Ada sih perasaan menyesal harus berbagi beban terutama dengan nyokap gue yang sudah semakin tua dan sering sakit-sakitan. Tapi gimana lagi, gue paling nyaman kalau ngomong or curhat ama dia. Mama tidak pernah menghakimi. Mama tidak pernah sotoy dan mengorek-ngorek masalah. Mama juga tidak pernah membuat cerita tandingan seperti mantan gue yang ujung-ujungnya bikin gue ilfil. Masa' orang mau curhat malah dicurhatin, capek deh........

Mama adalah pendengar curhat yang baik. Dia sabar mendengar cerita gue dan tidak pernah memotong pembicaraan gue. Dia denger dulu sampai gue berhenti bicara and merespon saat ada jeda. Kata-katanya sering bikin gue tenang, meskipun kadang-kadang dia mengalami kesulitan memahami istilah-istilah tertentu yang sering tanpa sadar keluar dari bibir gue. Kalimat terakhir selalu mengingatkan gue agar lebih sabar, jaga kesehatan, dan dekat dengan sang Pencipta. Hmmm......Mama memang ga ada duanya!!

Tapi kali ini gue minta maaf ya Ma karena gue pengin berbagi beban juga sama sahabat gue.  Dia teman gue waktu menempuh pendidikan diploma 2 dan satu penempatan kerja di kota kecil salah satu ibukota propinsi di pulau Sumatera.  Dulu kami tidak begitu dekat, ya sebatas teman sekolah. Tapi saat senasib ditempatkan di Sumatera, tinggal di mess bujangan yang kecil dan harus berempat, tidur berdua di lantai yang hanya beralas koran dan matras gabus pemberian kantor (emang keterlaluan tuh kantor, masa' beliin kami kasur gabus yang kalau ditidurin langsung berasa dinginnya lantai. Kasur gabus tipis banget! makanya kami alasin koran biar ngga langsung nyess ke lantai), hubungan kami jadi semakin dekat dan mengarah pada titik sahabat. 1 tahun pertama kami menderita banget. Makan aja susah karena kami harus ngatur uang gaji capeg (calon pegawai) selama 6 bulan yang nilainya sangat minim untuk kebutuhan sehari-hari.  Gue asli ga siap hidup seperti itu dengan gaji sekitar 70 ribu sebulan. Tapi, semangat gue untuk hidup di atas kaki sendiri membuat gue cepat bangkit bila terjatuh. Kata 'putus asa' gue hilangkan dari kamus gue karena kalau gue lihat keluar, masih banyak orang yang hidupnya lebih susah dari gue.  So, berusaha tegar meski kaki ini rasanya siap diamputasi, badan seperti dimutilasi karena saking capeknya diforsir 24 jam untuk cari tambahan uang makan.

Sohib gue agak berbeda. Dia lebih siap kayaknya. Saat penempatan dia bawa kardus besar yang isinya kompor, alat-alat dapur, rice cooker plus beras. Sangat berbeda dengan gue yang cuman bawa kopor isi pakaian doang. Tiap hari dia masak nasi plus telur ceplok. Mungkin itu cara yang paling praktis selain bikin mie instant. Kadang-kadang dia beli tahu tempe yang saat itu masih murah banget sebagai lauk. Gue lebih sering ngerecokin dia dengan minta sedikit porsi makanannya, he...he....

Ya, Senin siang kemaren gue panggil dia untuk mampir ke ruangan kantor gue. Sebenarnya itu karena nyokap gue juga yang tiba-tiba bilang kangen sama dia, sahabat gue.  Emang, Mama kenal dia dan sempat ketemu dia saat Mama datang berkunjung dan tinggal lumayan lama di rumah gue di Sumatera. So, waktu gue BBM dan dia bilang masuk shift siang, sekitar jam 2 siang dia sudah berada di ruangan gue.  Seperti biasa, obrolan pertama ga jauh dari saling ngeledek dan topik-topik konyol. Beberapa menit berikutnya baru bicara serius tentang keluarga.  Saat itulah gue buka habis apa yang terjadi di keluarga gue. Gue cerita apa adanya karena menurut gue, dia sebagai sahabat gue perlu tau tentang keluarga gue yang sebenarnya. Gue bisa jamin dia tidak pernah cerita balik sama orang lain, bahkan sama pasangannya di rumah.  Itu sudah terbukti selama gue bersahabat sama dia.

Raut muka dia kelihatan kaget saat gue bilang bahwa gue sudah berpisah secara resmi dengan pasangan gue.  Selama ini gue tutupin karena demi anak-anak gue yang masih kecil dan menurut gue belum siap menerima kenyataan ini. Gue akan cerita sama mereka kalau mereka menanyakan hal itu. Feeling gue sih mengatakan mereka tahu, tapi mereka sepertinya ga mau tahu karena selama ini hubungan gue dengan mantan tetap baik sebagai suami istri. Memang kami sudah lama tidak 1 rumah lagi, tapi silaturahim masih terjalin. Hanya,setelah kasus anak gue yang terang-terangan menolak sekolah di kota tempat gue tinggal dan secara garang dia marah tidak mau tinggal serumah dengan gue, membuat gue putus asa untuk yang pertama kalinya.  Bertahun-tahun gue sudah sabar dijauhkan dengan anak-anak gue oleh mantan. Bertahun-tahun gue cuman bisa memendam rasa rindu pengin ketemu, menderita dengan kesendirian, sendiri membangun rumah dan menyiapkan masa depan bagi anak-anak gue, e....pada akhirnya usaha gue hanya mendapat cibiran dan penolakan dari anak gue. Kenyataan ini pun gue ceritakan ke sohib gue.  Dia terlihat kaget, ga nyangka seperti itu kejadiannya.  Termasuk gue cerita apa dan bagaimana gue berpisah. Sebenarnya penolakan anak gue tinggal serumah sama gue atau kata-kata kasarnya ke gue masih bisa gue terima. Maklum anak gue memasuki usia remaja yang cenderung meledak-ledak emosinya. Tapi saat gue denger dari nyokap gue kalau anak gue juga sudah berani bicara ga sopan sama nyokap gue, rasanya gue ga bisa terima. Cukup, cukup sudah kesabaran gue. Ini ga bisa diteruskan. Batas kesabaran gue sudah dilewati. Gue harus ngambil sikap untuk memberikan pelajaran. Gue ga bakal peduli lagi sama anak gue sebelum dia berubah dan minta maaf sama nyokap gue dan gue. Sedih banget melihat anak gue tumbuh seperti itu.  Jauh dari harapan gue. Keikhlasan gue merelakan anak-anak gue tinggal sama mantan ternyata hanya membiarkan mereka tumbuh menjadi anak-anak yang tidak sopan sama orang tua, pemarah, manja, sering tidak percaya diri dan pasif menghadapi masa depan.  Hancur sudah hati gue. Surat perjanjian dengan mantan itu rasanya ingin gue ubah, tapi mengetahui mantan gue yang sarjana hukum, melek hukum, sering menipu gue dan sering membalikkan fakta, membuat gue mengambil sikap wait and see. Gue masih yakin, pelajaran hidup yang akan membawa anak-anak gue kembali ke tangan gue. Mungkin saat ini mereka masih belum tahu susahnya hidup. Mereka belum mengerti sulitnya menggapai masa depan. Sometime, mereka akan datang ke rumah gue.

Siang itu gue sangat lega karena sudah menceritakan semua peristiwa yang terjadi dalam hidup gue. Sahabat gue ga banyak komentar. Dia memang tau betul sifat dan kepribadian gue yang sebenarnya. Bisa jadi, selain nyokap gue, dia juga tau gimana perasaan gue. Ga ada air mata dalam percakapan siang sampai sore itu. Full waktu terisi dengan kisah-kisah pribadi kami. Bahkan gue sempet ngobrol via telepon dengan pasangan dia. Seru dan melegakan.....................God always knows what I want. God never lets me down